Sabtu, 24 September 2016

Termiakasih Ibu

Terimakasih Ibu
oleh: Adeline Suriadi

“Indi, aku yang jaga, kamu yang ngumpet, ya!” seru Kezia sambil berjalan menuju pohon terdekat untuk mulai menghitung. Dengan gembira, aku berlari mencari tempat persembunyian. Suara Kezia yang menghitung dengan keras mulai terdengar, aku semakin bersemangat untuk mengalahkan Kezia pada hari itu.
Beberapa lama setelah mencari, akhirnya aku menemukan tempat yang cukup strategis untuk bersembunyi: di balik sebuah rumah kecil yang kelihatannya sudah tidak pernah diurus. Sambil tertawa dalam hati, aku berjalan menuju tempat persembunyianku, ‘Kezia akan sulit menemukanku,’ pikirku.
Suara Kezia sudah tidak terdengar lagi, ia pasti sudah mulai mencariku. Aku pun tetap bersembunyi dalam diam, sambil sesekali menengok ke belakang, ke arah hutan, dengan waspada.
Lama sekali, tetapi tidak ada tanda-tanda Kezia akan datang. Hari sudah mulai gelap, aku mulai bergidik ngeri. Suara lolongan serigala terdengar dari arah belakangku. Aku tidak berani menengok ke belakang lagi. Pandanganku lurus ke depan dengan cemas, tidak ada siapa-siapa di sini, aku yakin sekarang bahwa Kezia telah pergi. Dia lagi-lagi menjahatiku. Seharusnya aku tidak bermain bersamanya, karena dia membenciku, dan aku tahu itu. Suara lolongan serigala kembali terdengar, dan kali ini lebih keras. Berteriak minta tolong pun aku tidak bisa. Dengan tekad yang bulat, aku menengok ke belakang. Pada saat itu juga, hewan yang paling kutakuti menyerangku. Aku sempat melihat wajah serigala itu sebelum semuanya menjadi gelap.
“Indi, bangun! Bangun, nak, bangun!” Aku merasakan tubuhku digoncang-goncangkan oleh seseorang. Aku membuka mataku dan menyesuaikan diri dengan terang lampu yang familiar. Aku berada di kamarku.
“Kamu kenapa?” tanya Ibuku. Aku bangkit dari kasur dan memeluk ibu. Dapat kurasakan keringat membasahi sekujur tubuhku. Aku melepas pelukanku dan memberi isyarat pada ibu untuk memberiku kertas dan pensil. Ibu segera mengambilkannya untukku.
Aku menceritakan isi mimpi burukku kepada ibu melalui tulisan ala kadarnya di kertas tersebut. Seusai membacanya, ibu memelukku.
“Tenang, kamu akan baik-baik saja. Jangan sampai mimpimu itu merusak hari indahmu. Hari ini kamu akan kembali ke sekolah, lebih baik kamu bersiap-siap,” kata Ibu.
Aku mengangguk lalu segera beranjak dari kasurku, tersenyum pada ibu, dan bergegas ke kamar mandi untuk mandi. Aku harus siap untuk menghadapi hari ini, hari lain yang akan sama seperti hari-hari sebelumnya.
Setelah mandi, sarapan, dan berpamitan pada ibuku yang sedang bersiap-siap untuk berdagang, aku berjalan kaki ke sekolahku, SMA Nusantara, sambil termenung. Saat ini, aku berumur 16 tahun, hampir 17 tahun. Aku lahir di keluarga yang kurang harmonis. Seharusnya aku memiliki ayah dan kakak perempuan, tetapi ketika aku berumur 5 tahun, mereka meninggalkan rumah, meninggalkan aku dan ibuku. Aku merasa semua itu terjadi karena diriku. Aku terlahir bisu. Ayah malu memiliki anak yang bisu, beliau hanya menyayangi kakakku, tetapi ibu selalu membelaku. Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, ayah menghindari ibu dengan pergi meninggalkan rumah, membawa anak kesayangannya, kakakku.
Sejak kejadian itu, Ibu bekerja keras untuk membiayai sekolahku. Uang tabungannya lama-kelamaan semakin menipis, maka ia berinisiatif untuk membuat keripik pisang dan menjualnya. Ibu merasa penghasilannya seringkali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kami berdua, sehingga ia hanya berjualan sampai siang hari. Sorenya, ia menerima jasa mencuci pakaian-pakaian tetangga. Terkadang, aku ikut dengannya jika tugas-tugas sekolah sudah selesai semua. Malamnya, kami beristirahat di rumah sambil menyiapkan dagangan ibu untuk keesokan paginya. Rutinitas itu selalu terulang setiap harinya.
Aku berjanji pada diriku untuk membahagiakan ibu. Aku selalu berusaha melakukan yang terbaik di setiap kesempatan yang diberikan kepadaku. Aku selalu belajar dan mengerjakan tugas dengan maksimal, sehingga rankingku di kelas selalu masuk lima besar. Semua itu merupakan hadiah untuk ibu.
Suatu saat aku sadar, teman-temanku –salah satunya adalah Kezia- tidak menyukaiku. Mereka mengejekku karena aku bisu, selalu berusaha untuk membuatku dihukum. Mereka tidak ingin aku masuk lima besar. Atas semua perbuatan mereka, aku tidak dapat menyebut mereka sebagai teman-temanku, bahkan sekarang, aku benar-benar tidak memiliki teman, sama sekali. Tidak ada yang mau bergaul denganku, seorang anak bisu yang digosipkan sebagai tukang menyontek. Mereka menganggap aku selalu mendapat nilai bagus karena menyontek. Aku tidak dapat mengatakan yang sebenarnya, menggunakan bahasa isyarat pun mereka tidak mengerti, menulis pun mereka tidak mau membaca. Aku tidak memiliki teman yang dapat membelaku. Hidupku sangat berantakan.
Ketika bel istirahat telah berbunyi, aku segera bergegas ke kantin. Begini-begini, aku juga membutuhkan makanan. Aku segera membeli seporsi bakso, makanan yang mengenyangkan dan murah, lalu segera menuju ke tempat dudukku yang biasa, di bangku rusak pojok belakang. Ya, tempatku memang di situ, karena bangku-bangku lain telah diduduki oleh berbagai macam geng. Jangankan memiliki geng, aku saja tidak memiliki teman.
Sambil menyantap semangkuk bakso panas yang sungguh lezat, tidak seperti biasanya, aku memperhatikan keadaan sekitar. Kulihat Kezia dan teman-temannya, geng paling populer di sekolah ini, duduk di bangku paling tengah, tempat yang paling strategis untuk memesan berbagai macam makanan. Aku melihat makanan yang mereka pesan, sungguh banyak dan pastinya mahal-mahal. Mereka tertawa sambil menyantap makanan mereka, menceritakan kisah liburan masing-masing secara bergantian dengan penuh semangat. Mereka terlihat sangat bahagia.
Beberapa meter di samping kanan bangku mereka, aku melihat sekumpulan anak-anak yang terkenal karena masalah mereka. Jodi, ketua geng yang tidak naik kelas dua kali karena tertangkap basah menonjok adik kelasnya. Mario, sering datang terlambat serta melanggar peraturan sekolah lainnya. Shella, salah satu murid perempuan yang melipat bagian bawah roknya dan menjahitnya agar lebih pendek, serta mengecilkan ukuran seragamnya. Ia juga sering memakai make-up ke sekolah, padahal di peraturan jelas-jelas dilanggar. Dani, menyandang predikat tukang menyontek (sama sepertiku), tetapi tidak dikucilkan sepertiku. Bio, murid laki-laki bertubuh besar yang menyandang predikat preman sekolah, rajin memalaki adik-adik kelas yang berpapasan dengannya.
Karena malas memperhatikan mereka yang saat ini sedang menjahili setiap anak yang lewat di samping meja mereka, aku membuang muka dan mataku menangkap satu bangku lagi dengan perkumpulan anak-anak kutu buku. Ketika bertemu dengan teman-teman, mereka akan saling bercerita, entah tentang liburan atau tentang buku yang mereka baca. Mereka saling tertawa dan tidak terlihat canggung sama sekali, tidak seperti ketika mereka diharuskan bergaul dengan anak-anak populer.
Mereka semua memiliki teman, sedangkan aku di sini duduk sendirian. Tidak ada yang pernah menawariku untuk duduk bersama, ataupun menawarkan diri untuk duduk bersamaku. Mungkinkah karena aku tidak bisa menceritakan pengalaman-pengalaman seru seperti yang lain? Untuk pertama kalinya, aku merasa amat sangat kesepian.
Sore itu hari Minggu, hari libur bagi sebagian besar pelajar dan pekerja, serta sebagai hari santai bersama keluarga. Sedari tadi pagi, aku telah berpamitan kepada ibu untuk pergi mencari udara segar, basa-basi seperti biasa. Yang sebenarnya ingin kulakukan adalah pergi ke suatu tempat di mana aku dapat melepaskan segala kepenatan dan kepedihan selama seminggu pertama kembali masuk sekolah. Banyak kejadian yang aku alami selama seminggu ini, dan semua hal itu hanya membuatku menyesali keadaan.
Saat ini, aku sedang bertengger di atas sebuah pohon besar yang letaknya tepat di samping sebuah taman bacaan yang sudah terbengkalai, sedikit jauh dari rumahku. Udara di atas sini sangatlah segar. Dari sini, aku dapat melihat pemandangan hijau yang sangat luas dan terbentang indah. Di sini, aku merasa sangat nyaman dan aman, seakan-akan Tuhan telah menciptakan tempat ini khusus untukku.
Ketika aku sedang merenung selama beberapa saat, tiba-tiba petir menyambar, disusul hujan rintik-rintik yang mulai turun, semakin lama semakin deras. Aneh, padahal barusan udara sangat cerah. Aku bergegas turun dari pohon dan berteduh di sebuah pendopo dekat situ.
“Dulu, ibu juga kesepian sama seperti kamu, Ndi.”
Aku menoleh dan mendapati ibuku berdiri di sampingku. Pandangannya menerawang jauh. Entah kapan beliau datang, tetapi aku merasa aman di dekatnya.
“Ibu sempat mengalami kecelakaan ketika berumur 10 tahun. Kecelakaan itu merenggut mata ibu. Ibu tidak dapat melihat dunia. Saat itu, ibu merasa sangat kesepian. Hanya gelap yang dapat ibu rasakan. Ibu marah dengan semua anggota keluarga ibu, sampai-sampai ibu tidak tahu bagaimana keadaan keluarga ibu saat itu. Suatu saat, ibu dikabarkan akan melakukan operasi untuk dapat melihat lagi. Bahagia sekali rasanya. Ibu menjalani operasi itu dengan penuh harapan. Operasi itu berjalan lancar. Ibu membuka mata dan dapat melihat dunia kembali. Di hadapan ibu, semua anggota keluarga ibu tersenyum, atau setidaknya berusaha tersenyum. Tiba-tiba ibu sadar, mata mereka menyiratkan kesedihan. Ibu memandangi sekeliling ruangan rumah sakit, dan tersadar bahwa nenek kamu, ibunya ibu, tidak ada di sana.”
Aku memandang ibuku dengan heran. Aku masih tidak mengerti dengan semua cerita ibuku.
“Beliaulah yang mendonorkan matanya untuk ibu.”
Kalimat itu membuatku tercengang.
“Beliau telah sakit selama lima tahun, dan hidupnya hanya bergantung pada alat. Bodoh sekali rasanya ibu tidak mengetahui semua itu. Beliau mengambil keputusan untuk mendonorkan matanya untuk ibu, lalu ia memohon kepada dokter untuk mencabut semua alat yang menempel di tubuhnya. Ya, beliau meninggal dengan mendonorkan matanya untuk ibu. Saat itu, ibu merasa sangat bersalah. Tapi ibu tahu, beliau menaruh harapan yang besar pada ibu. Beliau ingin ibu hidup dengan bahagia, dan berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.”
Aku pun memeluk ibu, ikut merasakan kepedihan yang dirasakannya.
“Ingatlah, Indi, kamu tidak pernah sendiri. Masih ada orangtua yang menyayangimu, dengan segala kekuranganmu. Masih ada Tuhan di atas sana yang bersedia untuk menopangmu. Selalu berusaha ya dalam hidup. Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi kemampuan umatNya, kok. Ibu sayang Indi.”
Aku memeluk ibuku semakin erat. Ya, aku tidak boleh menyerah. Ibuku adalah alasanku untuk bertahan. Aku akan membahagiakan ibu. Aku akan membanggakan ibu.
Hari ini, aku kembali bersekolah. Kembali bertemu dengan orang-orang itu. Jika tidak ada ibu yang memelukku pagi ini, aku tidak akan pergi ke sekolah. Aku bersekolah dan berprestasi hanya untuk ibu, agar aku mendapat beasiswa sehingga meringankan beban ibu. Jika tidak ada ibu, aku pasti masih pulas di atas kasurku. Jika tidak ada ibu, aku tidak mungkin berjalan kaki saat ini. Jika tidak ada ibu, aku tidak akan tahan menjalani hidup yang tidak adil ini.

0 komentar:

Posting Komentar