Terimakasih Ibu
oleh: Adeline Suriadi
“Indi, aku yang jaga, kamu yang ngumpet, ya!” seru Kezia sambil
berjalan menuju pohon terdekat untuk mulai menghitung. Dengan gembira,
aku berlari mencari tempat persembunyian. Suara Kezia yang menghitung
dengan keras mulai terdengar, aku semakin bersemangat untuk mengalahkan
Kezia pada hari itu.
Beberapa lama setelah mencari, akhirnya aku menemukan tempat yang
cukup strategis untuk bersembunyi: di balik sebuah rumah kecil yang
kelihatannya sudah tidak pernah diurus. Sambil tertawa dalam hati, aku
berjalan menuju tempat persembunyianku, ‘Kezia akan sulit menemukanku,’
pikirku.
Suara Kezia sudah tidak terdengar lagi, ia pasti sudah mulai
mencariku. Aku pun tetap bersembunyi dalam diam, sambil sesekali
menengok ke belakang, ke arah hutan, dengan waspada.
Lama sekali, tetapi tidak ada tanda-tanda Kezia akan datang. Hari
sudah mulai gelap, aku mulai bergidik ngeri. Suara lolongan serigala
terdengar dari arah belakangku. Aku tidak berani menengok ke belakang
lagi. Pandanganku lurus ke depan dengan cemas, tidak ada siapa-siapa di
sini, aku yakin sekarang bahwa Kezia telah pergi. Dia lagi-lagi
menjahatiku. Seharusnya aku tidak bermain bersamanya, karena dia
membenciku, dan aku tahu itu. Suara lolongan serigala kembali terdengar,
dan kali ini lebih keras. Berteriak minta tolong pun aku tidak bisa.
Dengan tekad yang bulat, aku menengok ke belakang. Pada saat itu juga,
hewan yang paling kutakuti menyerangku. Aku sempat melihat wajah
serigala itu sebelum semuanya menjadi gelap.
“Indi, bangun! Bangun, nak, bangun!” Aku merasakan tubuhku
digoncang-goncangkan oleh seseorang. Aku membuka mataku dan menyesuaikan
diri dengan terang lampu yang familiar. Aku berada di kamarku.
“Kamu kenapa?” tanya Ibuku. Aku bangkit dari kasur dan memeluk ibu.
Dapat kurasakan keringat membasahi sekujur tubuhku. Aku melepas
pelukanku dan memberi isyarat pada ibu untuk memberiku kertas dan
pensil. Ibu segera mengambilkannya untukku.
Aku menceritakan isi mimpi burukku kepada ibu melalui tulisan ala kadarnya di kertas tersebut. Seusai membacanya, ibu memelukku.
“Tenang, kamu akan baik-baik saja. Jangan sampai mimpimu itu merusak
hari indahmu. Hari ini kamu akan kembali ke sekolah, lebih baik kamu
bersiap-siap,” kata Ibu.
Aku mengangguk lalu segera beranjak dari kasurku, tersenyum pada ibu,
dan bergegas ke kamar mandi untuk mandi. Aku harus siap untuk
menghadapi hari ini, hari lain yang akan sama seperti hari-hari
sebelumnya.
Setelah mandi, sarapan, dan berpamitan pada ibuku yang sedang
bersiap-siap untuk berdagang, aku berjalan kaki ke sekolahku, SMA
Nusantara, sambil termenung. Saat ini, aku berumur 16 tahun, hampir 17
tahun. Aku lahir di keluarga yang kurang harmonis. Seharusnya aku
memiliki ayah dan kakak perempuan, tetapi ketika aku berumur 5 tahun,
mereka meninggalkan rumah, meninggalkan aku dan ibuku. Aku merasa semua
itu terjadi karena diriku. Aku terlahir bisu. Ayah malu memiliki anak
yang bisu, beliau hanya menyayangi kakakku, tetapi ibu selalu membelaku.
Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, ayah menghindari ibu
dengan pergi meninggalkan rumah, membawa anak kesayangannya, kakakku.
Sejak kejadian itu, Ibu bekerja keras untuk membiayai sekolahku. Uang
tabungannya lama-kelamaan semakin menipis, maka ia berinisiatif untuk
membuat keripik pisang dan menjualnya. Ibu merasa penghasilannya
seringkali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kami berdua, sehingga ia
hanya berjualan sampai siang hari. Sorenya, ia menerima jasa mencuci
pakaian-pakaian tetangga. Terkadang, aku ikut dengannya jika tugas-tugas
sekolah sudah selesai semua. Malamnya, kami beristirahat di rumah
sambil menyiapkan dagangan ibu untuk keesokan paginya. Rutinitas itu
selalu terulang setiap harinya.
Aku berjanji pada diriku untuk membahagiakan ibu. Aku selalu berusaha
melakukan yang terbaik di setiap kesempatan yang diberikan kepadaku.
Aku selalu belajar dan mengerjakan tugas dengan maksimal, sehingga
rankingku di kelas selalu masuk lima besar. Semua itu merupakan hadiah
untuk ibu.
Suatu saat aku sadar, teman-temanku –salah satunya adalah Kezia-
tidak menyukaiku. Mereka mengejekku karena aku bisu, selalu berusaha
untuk membuatku dihukum. Mereka tidak ingin aku masuk lima besar. Atas
semua perbuatan mereka, aku tidak dapat menyebut mereka sebagai
teman-temanku, bahkan sekarang, aku benar-benar tidak memiliki teman,
sama sekali. Tidak ada yang mau bergaul denganku, seorang anak bisu yang
digosipkan sebagai tukang menyontek. Mereka menganggap aku selalu
mendapat nilai bagus karena menyontek. Aku tidak dapat mengatakan yang
sebenarnya, menggunakan bahasa isyarat pun mereka tidak mengerti,
menulis pun mereka tidak mau membaca. Aku tidak memiliki teman yang
dapat membelaku. Hidupku sangat berantakan.
Ketika bel istirahat telah berbunyi, aku segera bergegas ke kantin.
Begini-begini, aku juga membutuhkan makanan. Aku segera membeli seporsi
bakso, makanan yang mengenyangkan dan murah, lalu segera menuju ke
tempat dudukku yang biasa, di bangku rusak pojok belakang. Ya, tempatku
memang di situ, karena bangku-bangku lain telah diduduki oleh berbagai
macam geng. Jangankan memiliki geng, aku saja tidak memiliki teman.
Sambil menyantap semangkuk bakso panas yang sungguh lezat, tidak
seperti biasanya, aku memperhatikan keadaan sekitar. Kulihat Kezia dan
teman-temannya, geng paling populer di sekolah ini, duduk di bangku
paling tengah, tempat yang paling strategis untuk memesan berbagai macam
makanan. Aku melihat makanan yang mereka pesan, sungguh banyak dan
pastinya mahal-mahal. Mereka tertawa sambil menyantap makanan mereka,
menceritakan kisah liburan masing-masing secara bergantian dengan penuh
semangat. Mereka terlihat sangat bahagia.
Beberapa meter di samping kanan bangku mereka, aku melihat sekumpulan
anak-anak yang terkenal karena masalah mereka. Jodi, ketua geng yang
tidak naik kelas dua kali karena tertangkap basah menonjok adik
kelasnya. Mario, sering datang terlambat serta melanggar peraturan
sekolah lainnya. Shella, salah satu murid perempuan yang melipat bagian
bawah roknya dan menjahitnya agar lebih pendek, serta mengecilkan ukuran
seragamnya. Ia juga sering memakai make-up ke sekolah, padahal di
peraturan jelas-jelas dilanggar. Dani, menyandang predikat tukang
menyontek (sama sepertiku), tetapi tidak dikucilkan sepertiku. Bio,
murid laki-laki bertubuh besar yang menyandang predikat preman sekolah,
rajin memalaki adik-adik kelas yang berpapasan dengannya.
Karena malas memperhatikan mereka yang saat ini sedang menjahili
setiap anak yang lewat di samping meja mereka, aku membuang muka dan
mataku menangkap satu bangku lagi dengan perkumpulan anak-anak kutu
buku. Ketika bertemu dengan teman-teman, mereka akan saling bercerita,
entah tentang liburan atau tentang buku yang mereka baca. Mereka saling
tertawa dan tidak terlihat canggung sama sekali, tidak seperti ketika
mereka diharuskan bergaul dengan anak-anak populer.
Mereka semua memiliki teman, sedangkan aku di sini duduk sendirian.
Tidak ada yang pernah menawariku untuk duduk bersama, ataupun menawarkan
diri untuk duduk bersamaku. Mungkinkah karena aku tidak bisa
menceritakan pengalaman-pengalaman seru seperti yang lain? Untuk pertama
kalinya, aku merasa amat sangat kesepian.
Sore itu hari Minggu, hari libur bagi sebagian besar pelajar dan
pekerja, serta sebagai hari santai bersama keluarga. Sedari tadi pagi,
aku telah berpamitan kepada ibu untuk pergi mencari udara segar,
basa-basi seperti biasa. Yang sebenarnya ingin kulakukan adalah pergi ke
suatu tempat di mana aku dapat melepaskan segala kepenatan dan
kepedihan selama seminggu pertama kembali masuk sekolah. Banyak kejadian
yang aku alami selama seminggu ini, dan semua hal itu hanya membuatku
menyesali keadaan.
Saat ini, aku sedang bertengger di atas sebuah pohon besar yang
letaknya tepat di samping sebuah taman bacaan yang sudah terbengkalai,
sedikit jauh dari rumahku. Udara di atas sini sangatlah segar. Dari
sini, aku dapat melihat pemandangan hijau yang sangat luas dan
terbentang indah. Di sini, aku merasa sangat nyaman dan aman,
seakan-akan Tuhan telah menciptakan tempat ini khusus untukku.
Ketika aku sedang merenung selama beberapa saat, tiba-tiba petir
menyambar, disusul hujan rintik-rintik yang mulai turun, semakin lama
semakin deras. Aneh, padahal barusan udara sangat cerah. Aku bergegas
turun dari pohon dan berteduh di sebuah pendopo dekat situ.
“Dulu, ibu juga kesepian sama seperti kamu, Ndi.”
Aku menoleh dan mendapati ibuku berdiri di sampingku. Pandangannya
menerawang jauh. Entah kapan beliau datang, tetapi aku merasa aman di
dekatnya.
“Ibu sempat mengalami kecelakaan ketika berumur 10 tahun. Kecelakaan
itu merenggut mata ibu. Ibu tidak dapat melihat dunia. Saat itu, ibu
merasa sangat kesepian. Hanya gelap yang dapat ibu rasakan. Ibu marah
dengan semua anggota keluarga ibu, sampai-sampai ibu tidak tahu
bagaimana keadaan keluarga ibu saat itu. Suatu saat, ibu dikabarkan akan
melakukan operasi untuk dapat melihat lagi. Bahagia sekali rasanya. Ibu
menjalani operasi itu dengan penuh harapan. Operasi itu berjalan
lancar. Ibu membuka mata dan dapat melihat dunia kembali. Di hadapan
ibu, semua anggota keluarga ibu tersenyum, atau setidaknya berusaha
tersenyum. Tiba-tiba ibu sadar, mata mereka menyiratkan kesedihan. Ibu
memandangi sekeliling ruangan rumah sakit, dan tersadar bahwa nenek
kamu, ibunya ibu, tidak ada di sana.”
Aku memandang ibuku dengan heran. Aku masih tidak mengerti dengan semua cerita ibuku.
“Beliaulah yang mendonorkan matanya untuk ibu.”
Kalimat itu membuatku tercengang.
“Beliau telah sakit selama lima tahun, dan hidupnya hanya bergantung
pada alat. Bodoh sekali rasanya ibu tidak mengetahui semua itu. Beliau
mengambil keputusan untuk mendonorkan matanya untuk ibu, lalu ia memohon
kepada dokter untuk mencabut semua alat yang menempel di tubuhnya. Ya,
beliau meninggal dengan mendonorkan matanya untuk ibu. Saat itu, ibu
merasa sangat bersalah. Tapi ibu tahu, beliau menaruh harapan yang besar
pada ibu. Beliau ingin ibu hidup dengan bahagia, dan berusaha untuk
menjadi pribadi yang lebih baik lagi.”
Aku pun memeluk ibu, ikut merasakan kepedihan yang dirasakannya.
“Ingatlah, Indi, kamu tidak pernah sendiri. Masih ada orangtua yang
menyayangimu, dengan segala kekuranganmu. Masih ada Tuhan di atas sana
yang bersedia untuk menopangmu. Selalu berusaha ya dalam hidup. Tuhan
tidak akan memberi cobaan melebihi kemampuan umatNya, kok. Ibu sayang
Indi.”
Aku memeluk ibuku semakin erat. Ya, aku tidak boleh menyerah. Ibuku
adalah alasanku untuk bertahan. Aku akan membahagiakan ibu. Aku akan
membanggakan ibu.
Hari ini, aku kembali bersekolah. Kembali bertemu dengan orang-orang
itu. Jika tidak ada ibu yang memelukku pagi ini, aku tidak akan pergi ke
sekolah. Aku bersekolah dan berprestasi hanya untuk ibu, agar aku
mendapat beasiswa sehingga meringankan beban ibu. Jika tidak ada ibu,
aku pasti masih pulas di atas kasurku. Jika tidak ada ibu, aku tidak
mungkin berjalan kaki saat ini. Jika tidak ada ibu, aku tidak akan tahan
menjalani hidup yang tidak adil ini.
Sabtu, 24 September 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar